SS
Alchinegra, The First Who’s Fallen Thumbnail
Alchinegra, The First Who’s Fallen

Chapter 2

Menurut legenda, awalnya dunia ini kosong, tak dihuni oleh sesuatu pun yang hidup.. Hanya ada para dewa yang hidup di surga. Akan tetapi, mereka merasa kurang senang melihat dunia yang dibiarkan kosong seperti kuil rusak. Dewa tertinggi kemudian meniupkan sebagian rohnya pada dunia dan memunculkan lima Roh Agung yang diserahi tanggung jawab mengatur kehidupan di dunia, mulai dari yang paling kecil sampai yang memiliki ukuran paling besar.

 

Saat roh Dewa Tertinggi mengenai bumi, muncullah Anuera, Roh Agung bumi berwujud pria berwajah rupawan berpandangan lembut, dengan dua tangkai teratai yang selalu ada di tangannya serta jubah putih berhias sulaman tanaman dan membungkus badannya. Dia memiliki kuasa untuk memunculkan berbagai makhluk hidup, baik yang kecil maupun besar. Di samping itu, Anuera juga memiliki kuasa untuk memusnahkan ciptaannya jika dirasa tak lagi sesuai dengan bumi.

 

Saat roh Dewa Tertinggi terkena matahari, keluarlah Naraela, Roh Agung yang memberi kehidupan pada semua ciptaan Anuera. Naraela memiliki wujud pria yang gagah dengan baju zirah berwarna merah menyala dan dua pedang besar di punggung. Dengan kuasanya, dia menjaga agar semua makhluk hidup dapat terus hidup, tetapi dia juga bisa menghukum dengan kejam jika para makhluk, terutama manusia, melakukan kesalahan yang fatal.

 

Kemudian, Eldam adalah Roh Agung yang muncul saat roh Dewa Tertinggi masuk ke laut. Wujudnya adalah seseorang dengan wajah cantik yang memiliki rambut dan mata sewarna laut yang dalam. Matanya memiliki hak dan kuasa untuk menilai dan mencatat semua perbuatan penghuni dunia semasa hidupnya. Dia yang bertanggungjawab untuk menilai ke mana mereka yang sudah mati akan dikirim.

 

Lalu, saat Roh Dewa Tertinggi menyentuh cahaya bulan, ia memunculkan Madalf, Roh Agung yang memiliki kemampuan melihat takdir seseorang, juga memiliki tugas untuk mengatur nasib roh orang-orang mati. Madalf memiliki wajah yang teduh dan lembut dengan rambut hitam pendek. Dia mengenakan baju zirah yang ramping dengan sebilah pedang dari kristal terselip di ikat pinggangnya. Di tangannya, arwah akan menerima keputusan terakhir setelah dihadapkan pada sidang Eldam. Dialah yang mengatur reinkarnasi dan kehidupan setelah kematian.

 

Roh Agung yang terakhir muncul berperan sebagai penyeimbang semuanya. Namanya Mealwi, berwujud pria tinggi dengan rambut hitam panjang yang selalu memakai jubah berwarna hitam legam. Dari mana datangnya Mealwi, tidak pernah ada yang tahu. Tugasnya adalah mencabut nyawa makhluk yang telah sampai di penghujung hidupnya agar tidak menderita terlalu lama di dunia. Arwah yang sudah dia ambil diserahkan kepada Eldam untuk menerima persidangan atas semua  perbuatannya. Arwah tersebut akan kembali pada Mealwi jika melakukan kejahatan yang tidak termaafkan untuk mendapat hukuman sampai dosanya terbayar.

 

Pada suatu ketika, Mealwi membuat tujuh orang anak yang akan menjadi perpanjangan tangannya. Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi karena jumlah manusia semakin banyak, maka Mealwi memerlukan bantuan dalam melaksanakan tugasnya. Ada yang mengatakan Mealwi yang selalu berhubungan dengan manusia ingin merasakan memiliki keluarga juga. Ada juga yang mengatakan Mealwi ingin mempersiapkan penerusnya.

 

Ketujuh anak Mealwi ternyata menjadi terikat pada dunia manusia. Mereka memutuskan untuk tinggal di antara manusia dan menjaga mereka dari bencana dan penyakit. Namun, karena mereka dibentuk dari kematian, mereka tidak bisa bertahan selamanya di dunia orang hidup. Bahkan Naraela pun tidak bisa membantu mereka. Akhirnya, satu per satu anak Mealwi mati dan menghilang.

 

Untuk menghormati ketujuh sosok yang selalu menjadi penjaga mereka, manusia kemudian membuat tujuh kuil di tempat yang dipercaya sebagai makam mereka dan sering mengadakan doa untuk meminta perlindungan dari hal buruk. Manusia percaya hanya dengan doa itu mereka akan dijaga dari hal buruk dan bencana yang mungkin dibawa oleh Mealwi.

 

Mereka percaya hanya anak yang bisa membujuk ayahnya untuk tidak menurunkan bencana.

 

Kisah dalam legenda itu kini menjadi dongeng yang selalu dibacakan pada anak-anak sebagai pengantar tidur. Di masa sekarang, siapa yang masih percaya pada kekuatan roh dan legenda? Lima Roh Agung hanya menjadi bagian dari legenda dan kepercayaan manusia saja. Orang-orang masih ke kuil untuk berdoa, meski hanya pada saat-saat tertentu. Jika sesuatu yang baik terjadi, mereka berpesta dengan dalih berdoa. Saat hal buruk terjadi, mereka menangis menyalahkan Roh Agung.

 

Apakah aku percaya?

 

Kurasa tanda di tanganku sudah cukup untuk menjawabnya.

 

Jika Roh Agung itu tidak nyata, bagaimana menjelaskan kemampuanku yang terkutuk ini?

 

“Menurutmu bagaimana?” Kutepuk kepala Silva yang berbaring di sampingku dengan santai.

 

Harimau besar itu hanya mengangkat  kepalanya sedikit sebelum kembali berbaring dengan tenang. Nyaman sekali rasanya hidup sebagai Silva, gerutuku. Sehari-hari pekerjaannya hanya tidur, makan, tidur, makan, tanpa takut menjadi gemuk. Dia tidak perlu memikirkan orang-orang yang bicara di belakang punggungnya.

 

“Aku ingin jalan-jalan.” Aku geli melihat cara telinga putih Silva bergerak. “Kau juga bosan, kan? Ayo kita jalan-jalan.”

 

Silva melompat dan mendarat di tanah, ekornya bergerak pelan tidak sabar untuk segera berjalan-jalan. Kadang aku merasa Rielach benar-benar membesarkannya seperti membesarkan seekor anak anjing. Sikapnya ini benar-benar seperti seekor anak anjing yang tidak sabar dibawa berjalan-jalan keluar rumah.

 

Aku segera mengambil mantelku dan mengancingnya rapat-rapat. Hanya orang gila yang berkeliaran tanpa baju hangat di tengah musim dingin Alchinegra. Setelah memastikan amulet dengan mantra penghangat sudah aman di balik bajuku, aku segera naik ke atas punggung Silva. Harimau besar ini segera melesat berlari menuju gerbang samping istana.

 

“Yang Mulia! Berhenti!”

 

“Silva!!”

 

Belum juga kami meninggalkan halaman mansion, seorang pelayan menghadang jalan kami dengan kedua tangan terentang. Jika Silva terlambat menghentikan langkahnya sedetik saja, orang itu pasti sudah terkapar sekarang. Aku benar-benar tidak mau mendadak disalahkan karena kebodohan orang lain.

 

“Minggir, Ash! Kau mau mati?” Teriakku.

 

Ash, salah satu pelayan di mansion-ku, tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terentang. Bodoh sekali orang ini. Aku bisa melihat kedua kakinya gemetar, tapi dia masih menolak untuk pergi. Ide nakal muncul di kepalaku. Kutepuk pelan sisi kepala Silva agar dia mendekati Ash dan mengendus mukanya. Wajah Ash hampir sama seperti namanya saat kepala harimau yang besar hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.

 

“Yang…Yang Mulia…,” Ash memohon dengan suara pelan. Aku yakin sebentar lagi dia pasti pingsan.

 

“Minggirlah. Silva belum makan hari ini, kau tahu?”

 

Ya, anak itu sudah hampir pingsan.

 

“Ma-Madam Selina mengatakan Yang Mulia harus bersiap-siap untuk jamuan nanti malam!”

 

“Madam Selina?”

 

“Benar.”

 

Aku mengerutkan kening mendengar nama pengasuh kami disebut. Madam Selina adalah seorang keturunan bangsawan yang sejak muda sudah bekerja di istana. Ayahanda mempercayainya untuk menjadi pengasuh kami saat masih kecil, tentu saja dibantu oleh para pengasuh yang lain. Saat ini hanya tinggal aku saja yang masih benar-benar di bawah asuhannya sampai upacara kedewasaanku nanti.

 

Kalau ada satu hal yang paling diingat orang dari Madam Selina, tentu saja ketegasannya dalam mendidik kami. Keluarganya turun temurun mengabdi pada kerajaan dan ia terkenal sangat ketat dalam tata krama. Tangan dan kakiku entah sudah berapa kali kena rotan karena tidak bisa mengikuti aturan dengan benar. Tentu saja kami berempat tahu Madam Selina sebenarnya sayang pada kami, hanya saja sangat tegas caranya menyayangi kami.

 

“Katakan saja aku akan kembali tiga jam lagi.” Ujarku.

 

Tanpa menunggu jawaban dari Ash, kusuruh Silva untuk segera melompati pagar tinggi pembatas kawasan istana. Satu kali lompatan dan kami sudah berada di luar istana. Kutepuk-tepuk kepala Silva, bangga melihat semakin hebatnya kemampuan harimau manis ini. Tidak rugi dia sering kuajak kabur dari istana selama ini.

 

Sekarang ke mana sebaiknya kita pergi?

 

“Aku tahu!” Sekali lagi kutepuk kepala Silva lalu menunjuk ke arah bukit di utara. “Kita ke kuil tua saja. Seharusnya pohon beri di halaman belakang kuil mulai berbuah sekarang.”

 

Silva menggeram pelan tanda paham dan segera berlari ke arah bukit yang kutunjuk. Di atas bukit itu ada sebuah kuil tidak bernama yang sudah lama ditinggalkan orang. Tidak ada yang ingat kuil siapa itu karena sudah terlalu lama dibiarkan terbengkalai. Aku sudah beberapa kali mengunjunginya, tapi tetap tidak bisa melihat ada tanda-tanda khusus di sana. Mungkin itu adalah kuil lama untuk menyembah Naraela sebelum dipindah ke kuil yang baru.

 

Jalan menuju bukit ini sudah sangat jarang dilalui orang, jadi salju yang menumpuk sudah cukup tebal. Untung saja aku menunggangi  Silva sehingga aman dari kemungkinan terbenam di bawah tumpukan salju. Harimau perak ini meninggalkan jejak yang dalam di belakangnya setiap kali dia melompat. Tidak perlu waktu lama untuk kami akhirnya mencapai puncak bukit tempat kuil tua itu berdiri.

 

Daripada kuil tua, mungkin lebih tepat kalau tempat ini disebut reruntuhan kuil tua. Dinding dan atapnya sudah tidak utuh lagi. Mural yang biasanya menghiasi sekitaran kuil pun sudah tidak bisa dikenali lagi, membuatku semakin sulit mencari tahu kuil siapa ini. Satu hal yang pasti, mozaik yang masih tersisa di lantai terbuat dari batuan mahal. Bisa dibayangkan dulu kuil ini pasti indah pada masa jayanya.

 

“Di sini pasti dulunya kolam.” Aku menunjuk sebuah cekungan yang memiliki pecahan batu. Dengan satu kali lompatan, aku bisa turun dari punggung Silva dan mendarat mulus di tumpukan salju. “Apa ini dulu kuil Eldam? Biasanya di kuil Eldam ada kolam yang dipakai untuk penyucian diri.”

 

Eldam selalu dikaitkan dengan air, jadi wajar jika di kuilnya terdapat kolam air atau terletak dekat dengan danau. Orang-orang yang melakukan dosa besar umumnya akan melakukan penebusan di sini. Biasanya ada masa-masa tertentu orang akan melakukan festival khusus untuk melakukan hal itu.

 

Aku berjalan mendekati kolam itu dan mengamati kondisinya baik-baik. Sedikit kecewa, tapi kupikir nampaknya ini bukan kolam yang dibangun untuk tujuan penebusan dosa..Ukuran dan desainnya berbeda dengan yang terdapat  di buku-buku. Selain itu, tidak ada tanda-tanda Eldam yang biasanya ditemukan di bagian tepi kolam. Pada umumnya, bagian dinding kolam terukir lambang Eldam dan  lambang itu dipakai untuk menyucikan air kolam. Kolam ini memang memang memiliki bekas ukiran yang jelas berbeda dengan lambang Eldam yang kutemukan dalam catatan.

 

Alchinegra tidak memuja Eldam secara khusus, jadi yang aku tahu hanya berdasarkan catatan-catatan kuno semata.

 

Silva mengikutiku menjelajahi reruntuhan kuil tua ini dengan sabar. Dari sisa-sisa tangga utama kuil, bisa dibayangkan dulu banyak ukiran dan mungkin lapisan emas di tiang-tiangnya. Di bagian depan, dulunya pasti berdiri pintu besar dan berat yang terbuat dari kayu mahal. Lalu di sana ada patung dan vas yang terbuat dari ukiran batu langka. Di benakku, aku berusaha menjadikan kuil utama Naraela sebagai pembanding.

 

“Oh iya, kita mau cari beri!” Aku sampai lupa tujuan awal ke tempat ini.

 

Aku berlari menuju bagian belakang kuil dengan menghindari batu dan pecahan dinding yang ada di sekitar lantai dasar kuil. Di bagian belakang kuil tua ini, ada tanah lapang yang lumayan luas dengan pohon-pohon tua yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. Hal yang lebih penting dari semua itu adalah rumpun-rumpun beri yang hanya berbuah di musim dingin. Orang menyebutnya beri-salju dan biasanya dijadikan bahan selai atau kue.

 

Kupetik sebutir beri berwarna putih itu dan memakannya. Rasa manis dan sedikit asam langsung memanjakan lidahku. Beri-salju ini memang berbeda. Mereka akan berwarna putih saat sudah masak seperti salju. Rasa manisnya hampir semanis madu dengan kadang dibubuhi rasa asam.

 

Kuambil sebuah kantong dari sakuku dan aku mulai mengisi kantong itu dengan beri-salju. “Kita bawa banyak-banyak pulang. Aku ingat Dhielach punya tukang masak di tempatnya yang pintar membuat kue beri-salju. Nanti kita bisa makan sama-sama.” Ya, sudah lama kami berempat tidak berkumpul.

 

Selagi aku sibuk mengumpulkan beri-salju, Silva berbaring di dekatku dengan mata terpejam. Telinganya sesekali bergerak mendengarkan suara di sekitar kami. Kalau melihat Silva, tentu saja aku akan ingat pada peliharaan lain yang dimiliki oleh Rielach. Seekor kelinci-giok yang berbulu putih dan menggemaskan.

 

“Silva, apa menurutmu Tutu suka buah ini?” Aku mendekatkan sebutih beri-salju ke depan hidung Silva agar diendus. Harimau besar itu hanya mendengus pelan dan mengedipkan matanya. “Berarti Tutu suka, ya? Kalau begitu kita bawakan juga untuk Tutu.” Di kepalaku, bayangan seekor kelinci putih gemuk memakan buah beri dengan lahap sepertinya akan nampak sangat menggemaskan.

 

Perlu waktu agak lama sampai kantong yang kubawa benar-benar penuh dengan buah beri. Aku tidak berani memakai sihir karena takut akan membuat buah-buah kecil itu menjadi rusak nantinya. Beri-salju yang sudah rusak rasanya akan berubah dan tidak segar lagi untuk dimakan, apalagi diolah menjadi kue.

 

“Mau coba?” Sekali lagi aku mencoba menyuapkan buah beri ke Silva hanya untuk ditolak mentah-mentah olehnya.

 

Ya, rasanya memang mustahil seekor harimau memakan buah beri liar.

 

“Ups!”

 

Saat aku masih berusaha mengikat  kantong penuh beri dengan aman, Silva sudah mengangkat dan melemparku ke atas punggungnya. Aku tidak sempat protes karena harimau besar ini sudah mulai berlari meninggalkan kuil dengan cepat. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa berpegangan erat padanya  dan memastikan kantong berisi beri-saljuku tidak terjatuh.

 

“Kau ini kenapa? Kita masih punya waktu untuk jalan-jalan!” Aku berusaha menghentikan Silva, tapi dia masih tetap terus berlari sampai kami kembali ke lingkungan istana.

 

Tepat di depan gerbang mansion, Silva mendadak berhenti dan nyaris membuatku terlempar dari punggungnya. Silva, kau sudah gila?! Rasanya ingin kupukul kepala harimau konyol ini. Untuk apa sampai harus mendadak berlari kesetanan seperti tadi? Aku turun dari punggungnya dari siap untuk marah-marah.

 

Sie Drouthir, apa yang Anda lakukan di sini? Apa Anda mau kabur lagi?”

 

Mati aku!

 

Suara itu tidak salah lagi! Pelan-pelan aku berbalik dengan doa semoga tebakanku keliru. Tawa canggung lolos dari bibirku melihat sosok seorang wanita paruh baya dengan pakaian berwarna hitam berdiri tepat di depan pintu mansion. Kedua tangannya tertangkup sopan. Aku tidak akan lupa bahwa tangan itu juga yang dari dulu tidak ragu mengayunkan rotan untuk menghukumku selama pelajaran berlangsung.

 

Sie Drouthir?”

 

“Madam Selina.” Aku berusaha bersikap tenang, jangan sampai ketahuan olehnya jika aku baru saja datang dari luar istana. “Kapan kembali ke istana? Aku merindukanmu.”

 

Madam Selina mengangkat alisnya dengan tatapan mata dingin. “Benarkah?”

 

Ya, aku akan mati sebentar lagi.

Table of Contents
Reader Settings
Font Size
Line Height
Donation
Amount

Discussion (0)

Log in to comment!

No comments yet. Be the first to comment!