SS
Alchinegra, The First Who’s Fallen Thumbnail
Alchinegra, The First Who’s Fallen

Chapter 1

Alchinegra adalah kerajaan terbesar yang terletak di paling utara Benua. Dibandingkan tempat yang lain, iklim di Alchinegra memang yang paling ekstrim, dengan musim dingin yang bisa mencapai lebih dari enam bulan. Walau cuacanya sering diselimuti salju, Alchinegra terkenal akan banyak penyihir dan ksatria kuat yang dihasilkannya.

 

Akademi terbaik di seluruh benua juga berdiri di Alchinegra dan sejak dulu hanya mau membuka pintu mereka untuk anak-anak berbakat. Sudah banyak lulusan Akademi Daxary yang menjadi legenda karena kehebatan dan kekuatan mereka. Maka tidak heran, jika setiap tahunnya ada ratusan hingga ribuan anak dari seluruh benua berlomba masuk mengikuti ujiannya.

 

Selain karena keberadaan Akademy Daxary, hukum tua Alchinegra juga terkenal begitu ketat mengatur kehidupan keluarga kerajaan. Salah satu aturan yang paling terkenal adalah hukum urutan calon pewaris tahta dimana hanya anak yang dilahirkan oleh Ratu yang bisa menempati urutan tersebut. Hanya pangeran yang dilahirkan oleh Ratu yang akan diberi ‘angka urutan’ dan gelar khusus Drouthir yang diberikan pada mereka yang lahir membawa berkah dari Roh Agung. Aturan tersebut dibuat saat Roh Agung melihat perebutan tahta antara anak-anak selir yang memicu perang saudara.

 

Saat ini, Kerajaan Alchinegra memiliki empat Drouthir serta cukup banyak Drou dan Chou yang dilahirkan oleh selir. Keempat Drouthir tersebut dilahirkan oleh Ratu terdahulu yang telah meninggal. Sementara Ratu yang baru hanya memiliki seorang Drou yang lahir saat dia masih menjadi selir. Atas dasar hukum tua yang ketat itu, anak sang Ratu yang sekarang tidak akan pernah bisa menjadi calon pewaris tahta, tidak peduli sebesar apa pun ambisinya. Sekalipun  semua orang tahu bagaimana usaha keras Ratu Heilan untuk membuat putranya bisa mendapatkan gelar Drouthir.

 

Tidak, tidak mungkin.

 

***

 

Jika Rufous Drou diangkat menjadi Drouthir, jika ada Drou yang diangkat menjadi Drouthir, itu adalah awal dari keruntuhan Alchinegra. Aku sudah mengatakannya pada Ayahanda, tapi mungkin tidak akan ada takdir yang bisa berubah. Melihat bagaimana Ayahanda mencintai Ratu Heilan, mereka tidak akan berhenti sampai nanti ada Drouthir baru yang dilantik. Entah ramalan itu akan terjadi atau tidak, aku yakin jika Rufous Drou menjadi Raja, maka Alchinegra akan benar-benar menuju kehancuran.

 

“Lihat siapa ini!”

 

Bicara soal setan, maka datanglah setan.

 

Aku melipat tangan di depan dada sembari menatap pria dengan wajah menyebalkan di hadapanku yang menghalangi jalan seolah dia sesuatu yang penting. “Apa maumu?”

 

“Bukankah kau seharusnya menyapa kakakmu, Sie Drouthir?” tanya Rufous Drou dengan senyum angkuhnya.

 

“Hai, Rufous.” Aku menjawab malas-malasan, memilih kembali fokus membaca buku di tanganku. Orang ini kalau ditanggapi akan semakin menyebalkan.

 

Rufous Drou mendecakkan lidahnya. “Cih, anak tidak tahu sopan santun. Apa gurumu selama ini kurang bagus, ya? Aku akan bicara dengan Ayahanda untuk mencarikan guru yang lebih keras agar bisa membuatmu lebih tahu tata krama.”

 

Lihat? Belum menjadi Drouthir saja sikapnya sudah seperti ini, bagaimana kalau dia jadi raja nanti?

 

Aku sungguh terlalu malas menanggapi provokasinya yang tidak pernah berubah. “Hukum di kerajaan sudah jelas menyebutkan kalau Drou, tidak peduli berapa umurnya, harus memberi hormat jika bertemu dengan Drouthir,” jawabku, “mungkin karena dulu kau dibesarkan di kediaman selir, maka pendidikanmu kurang. Aku akan menyampaikannya ke Ayahanda, ‘Kakak’.”

 

“Kau! Hanya karena kau lahir dari Ratu terdahulu, jangan kira bisa bersikap seenaknya! Hmmph! Anak yang lahir dengan kutukan sepertimu seharusnya dibunuh saja sejak lahir, sama seperti Rie Drouthir. Kalian pembawa bencana!” Wajah Rufous Drou sudah merah penuh amarah.

 

Aku menyipitkan mataku mendengar mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan. “Apa katamu?” 

 

Tidak masalah jika dia hanya menghinaku, aku sudah biasa dan tahu cara melawannya, tapi dia harus menyinggung Ibunda dan Rie Drouthir dengan mulut kotornya. “Coba katakan lagi!”

 

Raja semacam ini tidak akan bisa memimpin kerajaan dengan baik.

 

Jika dia hanya bicara kasar, aku masih bisa mengganggapnya salah satu pelayan yang suka mengoceh di waktu luang mereka. Sayang sekali dia menyinggung Rielach. Suara keras buku yang aku tutup cukup untuk membuat Rufous Drou dan pelayan yang kebetulan ada di dekat kami terdiam. Senyum sinis tertarik di wajahku saat aku berdiri dan mengulurkan tangan ke arahnya. Sangat menyenangkan melihat Rufous Drou yang badannya lebih besar dariku panik berusaha mundur.

 

Grrr… Harimau berbulu perak yang berbaring di samping kakiku mulai menggeram. “Pembawa kutukan?” Kutatap mata Rufous Drou, “Bagaimana kalau kutunjukkan kutukanku? Mungkin aku akan bisa memperingatkan bagaimana kau mati kelak.”

 

“Kau…!” Rufous mulai terlihat cemas melihat harimau itu mulai merengangkan cakar-cakarnya mengancam, perlahan berdiri, dan mulai melangkah mendekat. “Suruh dia jangan mendekat!”

 

“Hukum mengatakan seorang yang berani menghina atasannya harus dihukum cambuk. Orang yang berani menghina Raja dan Ratu bisa mendapat hukuman mati. Bagaimana menurutmu kalau aku melaporkan ini pada Ayahanda?”

 

“Berhenti! Suruh dia berhenti! Arven!” Seru Rufous. Dia menarik keluar pedangnya.

 

“Kata orang, satu kali menyebut namaku, kau akan sial selama setahun.” Aku ingin tertawa melihat ekspresi Rufous. “Oh, tapi kalau dilihat kondisi-mu sekarang, mungkin tidak akan sampai satu tahun.”

 

“KAU!”

 

Kuulurkan tangan ke arah Rufous Drou. “Biar kulihat, mungkin kau harus mempersiapkan peti mati saat ini juga.”

 

“Kau mengancamku?!”

 

“Bagaimana kalau kita buktikan saja ini ancaman atau bukan?” Semakin aku melangkah maju, semakin Rufous Drou mundur menjauh. Sepertinya dia lebih takut bersentuhan denganku daripada Silva yang masih dalam posisi siap menyerang di sampingnya.

 

“Ini belum selesai!” Rufous menyarungkan pedangnya

 

Pada akhirnya dia benar-benar tidak berani dan memilih segera kabur.

 

Pelayan lain pun langsung mencari alasan untuk menjauh dariku secepat mungkin. Sudah biasa seperti ini, kejadian semacam ini sudah sering aku alami. Tidak ada orang yang cukup bodoh untuk terus berada di dekat seorang Sie Drouthir dan tangannya yang terkutuk. Bahkan Ayahanda pun selalu menghindariku.

 

Apa kutukanku?

 

Lihat punggung tanganku? Lambang bulan berwarna putih yang tergambar di kedua punggung tanganku hanya muncul pada mereka yang mendapat anugerah dari Madalf, Roh Agung yang mengawasi dan mengatur takdir manusia. Aku terlahir dengan kedua tanda yang menunjukkan bahwa aku adalah bayi yang telah disentuh oleh kekuatan Madalf.. Kedua tanda ini juga memberikan anugerah yang membuatku bisa melihat semua yang dilihat oleh Madalf: takdir seseorang, masa depan, masa lalunya, semuanya.

 

Menakutkan.

 

Semua orang takut rahasia kelamnya terbongkar.

 

Tidak ada orang yang senang mendengar dia akan mati sebentar lagi.

 

Dalam legenda, anugerah ini adalah hal yang indah dan dipuja. Nyatanya, anugerah inidianggap kutukan di dunia. Entah bagaimana anggapanorang lain yang ditandai oleh Madalf, tapi aku tidak pernah merasa kedua tanda yang ada di tanganku ini sebagai anugerah. Tatapan orang saat aku tidak sengaja melihat ‘kematian’ mereka sudah menunjukkan kalau tidak sedikit yang berharap aku tidak pernah lahir. Jika aku tidak lahir…

 

Bayangan yang kulihat saat mataku menatap cermin memang tidak terlihat ramah seperti Dhie Drouthir, kakak ketigaku yang terkenal memilik hati yang baik dan ramah tanpa pandang bulu. Dia selalu berusaha mengikuti setiap hukum dan nasehat yang ditinggalkan oleh ibu kami dulu. Aku juga tidak menarik seperti Nie Drouthir yang merupakan putera mahkota dan idola semua orang. Aku bukan siapa-siapa. Terlalu membosankan dan tidak menarik. Terlebih lagi, banyak orang mengatakan bahwa sifatku adalah yang paling jelek dibandingkan pangeran-pangeran lainnya. Sama sekali tidak layak menjadi calon raja.

 

“Kalau begitu, biarkan saja aku sendiri.” Aku menghela nafas lelah.

 

Jika memang aku tidak layak jadi calon raja, maka biarkan saja aku sendiri. Posisi raja jelas bukan hal yang kuinginkan. Lagipula, mungkin ingatan orang kadang lemah, Ayahanda sudah menunjuk Nielach sebagai putera mahkota sejak Rielach menolak menerima posisi tersebut.

 

***

 

Namaku Arven d Arrish, pangeran keempat dari Ratu Kerajaan Archinegra. Saat usiaku sepuluh tahun, Ayahanda memberikan gelar Sie Drouthir untuk menegaskan  posisiku di istana. Bersamaan dengan itu, aku mendapat nama baru yaitu Sielach yang berarti Cahaya Keempat, mengikuti nama ketiga kakakku sebelumnya.

 

Rielach adalah gelar dari pangeran pertama yang memiliki arti Cahaya Utama, karena dia merupakan putera tertua Ayahanda. Kakak keduaku mendapat gelar Nielach yang memiliki arti Cahaya Kedua, meski orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Putera Mahkota. Sementara kakak ketigaku menerima gelar Dhielach yang menjadikannya urutan ketiga dari tahta.

 

Sesuai tradisi dan hukum tua yang berlaku selama ratusan tahun, hanya kami berempat yang berhak menjadi penerus tahta jika suatu saat Ayahanda meninggal. Pangeran lain tidak akan diberi kesempatan, tidak peduli walau mereka memiliki potensi besar dan menunjukkan prestasi yang berarti.

 

Sebenarnya tidak ada tradisi yang mengharuskan orang hanya boleh menyebutkan nama gelar resmi Drouthir atau Chouthir, tapi kami berempat sepakat untuk tidak lagi membiarkan sembarang orang menyebut nama pemberian Ibunda. Yang lebih penting, atas alasan yang tak kami ketahui,, Ibunda menggunakan nama-nama bunga untuk memberi nama kami berempat. Walau nama-nama kami sudah diubah agar terdengar lebih maskulin, tetap saja itu nama yang biasanya dipakai perempuan.

 

Awalnya, orang-orang masih menggunakan nama asli kami. Sampai suatu ketika, seorang pelayan menyebutkan namaku saat berbicara dengan temannya dan pelayan itu mendadak tersedak sampai nyaris mati akibat sesak nafas. Selang beberapa waktu, ada pelayan lain yang mendadak terjatuh dari tangga setelah menyebutkan nama asliku. Di kesempatan lain, ada pengawal yang nyaris terkena panah temannya setelah menggunakan namaku.

 

Dari mulut ke mulut, akhirnya seluruh kerajaan mengetahui kejadian-kejadian tersebut. Hanya perlu sedikit hembusan isu bahwa jika ada orang menyebut namaku, maka orang itu akan mendapat kutukan.  Sampai sekarang, tidak ada lagi yang berani menyebutkan nama asliku lagi. Bahkan pelayan-pelayan di istanaku pun tidak ada lagi yang berani mengucapkan nama itu.

 

Untung, sejauh ini tidak ada yang sampai kehilangan nyawa. Kalau tidak, mungkin namaku akan menjadi sesuatu yang tabuuntuk diucapkan atau digunakan oleh anak-anak di masa depan. Siapa yang mau anaknya memiliki nama pembawa sial?

 

Setelah Rufous Drou pergi, aku memutuskan untuk kembali ke sebuah mansion di ujung selatan istana, tempatku berdiam. Seperti biasa, jalan setapak yang kulalui tertutup oleh salju yang hampir sepanjang tahun selalu melingkupi dataran utara. Biasanya, para pelayan rutin membersihkan salju dari jalan agar tidak licin. Mungkin hal itu terjadi sebab hari-hari ini salju turun hampir sepanjang hari dan karenanya, lapisan putih dingin tetap menutupi jalanan ini.

 

Hanya pada musim semi yang singkat, pepohonan bisa berbunga. Jika ada pohon yang masih subur dan berbunga, maka bisa dipastikan ada yang menaruh sihir di sekitarnya. Misalnya, taman kecil yang ada di dekat mansion tempat tinggalku. Taman kecil ini selalu hangat dan dihiasi bunga-bunga musim semi yang terawat dengan baik.

 

Dengan bantuan sihir tentu saja.

 

Aku paling suka menghabiskan waktu di taman ini karena hangat. Tidak perlu lagi sarung tangan atau sepatu tebal agar jari tidak membeku di musim dingin. Tidak perlu lagi membawa mantra penghangat di balik mantel bulu tebal. Tempat kesukaanku adalah paviliun kecil yang terletak di tepi kolam ikan di tengah taman.

 

Sesampainya di paviliun, aku sengaja melepaskan mantel tebalku dan meletakkannya di tepi. Di tempat yang sunyi dan hangat ini, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam mengamati ikan-ikan bersisik keemasan yang berenang dengan semangat. Suhu dan suasana taman ini benar-benar terasa seperti di daerah selatan yang selalu hangat sebab sihir yang mengelilinginya.

 

Sesuatu yang lembut dan berbulu terasa menyentuh tanganku. Aku tidak bisa menahan senyuman begitu kumenoleh dan mendapati teman setiaku datang menghampiriku dan dengan dengkurannya yang dalam dan khas, meminta untuk dibelai. Bukan, temanku ini bukan manusia, mengingat tidak ada manusia normal di istana yang mau disentuh olehku. Dia adalah seekor harimau yang besarnya mungkin dua kali lipat harimau normal. Tanganku saja tidak cukup untuk menutupi kepalanya.

 

Harimau dengan bulu berwarna putih keperakan ini namanya Silva, hewan gaib yang dibesarkan sendiri oleh Rielach dan diberikan padaku sebagai teman. Tidak banyak orang yang bisa menjinakkan ras Silva yang terkenal brutal dan ganas, pun sudah tidak terhitung orang yang berusaha mencari harimau ini di alam bebas. Namun tak satupun ada yang pernah kembali hidup-hidup.

 

“Hei, Silva.” Kubelai-belai kepala harimau besar yang manja ini. “Kau sudah makan?”

 

Grrhaum.” Kucing besar ini menggeram dan menggerakkan kepalanya seolah menjawab pertanyaanku.

 

Gemas rasanya melihat tingkah Silva yang selalu menuntut untuk diperlakukan seperti binatang peliharaan pada umumnya. Tidak masalah jika yang minta dibelai adalah seekor kucing. Masalahnya, Silva ini adalah harimau besar yang terkenal paling ganas dan brutal dalam sejarah. Tak terbayang bagaimana cara Rielach dulu mendidiknya sampai Silva menjadi seperti ini.

 

Saat harimau pada umumnya adalah hewan yang penyendiri, Silva selalu mencari kesempatan untuk berada di sampingku. Saat malam pun dia selalu menemaniku di kasur sejak kecil. Satu dari banyak keuntungannya adalah aku tidak perlu lagi memasang tungku penghangat di kamarku.

 

Mungkin Rielach mengetahui bahwa aku nyaris tidak punya teman di istana, maka dia mengirimkan Silva yang manja ini padaku. Dia tahu, aku tidak akan sempat merasa kesepian dengan bola bulu raksasa yang selalu menuntut diperhatikan ini.

 

“Hei, Silva, besok kita jalan-jalan. Aku ingin mencari pemandangan baru.” Gumamku.

 

Kupeluk Silva erat-erat berusaha menghilangkan rasa kesal yang bertumpuk. Kesal dan sedih. Di saat tidak ada orang yang mau melakukan kontak fisik sedikit pun denganku, hewan ini justru setia dan menikmati saat kubelai. Mungkin karena dia selama ini besar dengan Rielach, karena itulah dia tidak takut denganku.

 

Di seluruh kerajaan ini memang hanya Rielach yang memahami perasaanku yang terpaksa menghindari kontak dengan orang lain. Jika dipikir-pikir lagi, aku masih bisa bebas keluar masuk istana. Para pelayanku masih setia melayaniku dan berusaha tidak bersentuhan denganku. Setidaknya mereka masih mau mengobrol denganku di saat aku bosan.

 

Sedangkan Rielach lebih banyak menghabiskan waktu di menara utara. Nyaris tidak pernah meninggalkan tempat tinggalnya, kecuali saat Ayahanda memanggilnya. Orang-orang pun menghindari Rielach seperti menghindari wabah. Mereka yang masih mencintai hidup tidak akan berani berada dalam satu ruangan dengan Rie Drouthir, atau setidaknya itu yang kudengar

 

Mengapa?

 

Karena Rielach ditandai oleh Roh Agung pemilik Kematian, Mealwi, sentuhannya membawa kematian.

Table of Contents
Reader Settings
Font Size
Line Height
Donation
Amount
Hikaru

Draco dormiens nunquam titillandus. And remember, even a phoenix borns from the ashes.

Discussion (0)

Log in to comment!

No comments yet. Be the first to comment!